Hanya dapat menahan sakit. Mungkin itu yang dirasakan Pak Suparman yang dulunya seorang buruh tani dan tukang tebang Pohon di desanya, kini hanya bisa terbaring di tempat tidur.
“Aduhh aduuh , , ya Allah . Aduuh sakit !!” Terdengar suara rintihan dari pak suparman.
Berawal dari 1 tahun lalu, saat itu pak suparman tertimpa pohon dan mengakibatkan tulang punggung pak suparman patah, dan harus dibawa ke rumah sakit untuk operasi, dan penanganan medis. namun setelah operasi sampai saat ini pun belum ada perubahan sama sekali.
Untuk mengeluarkan kotoran Pak Suparman harus melalui selang anus buatan. Dan tubuh pak suparman semakin hari terlihat semakin kurus.
Ditemani oleh Ibu Muntoiah (55.) yang tak lain adalah istri pak suparman untuk menyuapi makan, mengganti pakaian, dan karena pak suparman belom diperbolehkan terkena air yang berlebihan untuk memandikannya pun hanya sekedar diseka air bersih.
Setiap harinya Rintihan pak suparman tak henti henti , meski telah 1 tahun pasca operasi, dan tidak ada perubahan. Kini pak suparman hanya pasrah karena untuk berobatpun sudah tidak ada biaya. Punya sepeda motor kami jual, bahkan juga sawah telah terjual demi pengobatan pak suparman.
“Dulu kami punya sepeda motor mas, sawah kami juga punya. Tapi sekarang semua sudah terjual untuk biaya berobat mas.” Keluh Ibu Muntopiah.
“Sekarang saya hanya bisa berjualan air isi ulang galon mas, agar tidak seberapa repot,. Karena saya harus merawat suami saya dirumah.” Ucap Ibu Muntopiah sembari berangkat mengantar pesanan Air Galon.
kini pak suparman bergantung hidup pada seorang istri yang mengais rizki dengan berjualan air galon keliling demi makan sehari hari, dan biaya pengobatan suaminya.
SUAMI ISTRI HIDUP DITENGAH HUTAN, DENGAN KONDISI SUAMI MENGIDAP TUMOR MATA !
Suka Duka yang dialami Mbah Djasmin dan Mbah Sani yang hidup ditengah hutan, tanpa tetangga tanpa aliran listrik maupun air. Dengan kondisi sang suami (Mbah Djasmin) yang sudah bertahun-tahun hanya dapat terbaring diatas ranjangnya karena penyakit Tumor di matanya.
“saya makan seadanya nak, sehari terkadang hanya satu kali makan pernah juga kami tak bisa makan, karena memang keadaan.”
Keseharian Mbah Sani sendiri hanya dapat merawat suaminya, dan terkadang beliau buruh ikut membantu petani diarea hutan tersebut. Dengan upah yang tak seberapa yang hanya cukup untuk makan saja. Bahkan untuk pengobatan mbah Djasmin, mbah Sani tidak ada biaya.
“obatnya mbah Djasmin ya hanya makan dan saya ada disampingnya itu sudah cukup nak, karena memang kami hanya berdua saja disini, pernah sekali bidan datang karena memang kami tak bisa untuk berjalan ke Rumah Sakit/Puskesmas.”
Mbah Djasmin memiliki anak semata wayangnya yang tinggal berbeda kecamatan bersama istri dan anak-anaknya. tak jarang anak mbah Djasmin datang untuk memberikan makanan atau sembako, datangnya pun seminggu sekali kadang karena harus bekerja dan memang jarak tempuh yang sangat jauh belum lagi harus memasuki belantara hutan.
“mbah Djasmin memang memiliki anak satu sudah menikah dan tinggal dengan istrinya, dia anak dari mbah djasmin dengan istrinya yang sebelum saya.”
Kini benjolan di mata Mbah Djasmin kian membesar dan seperti keluar darah bercampur air mata. Mbah Djasmin pun hanya dapat menahan rasa sakit sambil teriak-teriak memanggil istrinya.
“hampir tak bisa saya tinggal kemana-mana, karena ya memang sepi dan mbah butuh sosok yang merawatnya.”
Mbah Sani hanya dapat berdoa memohon kepada Sang Pencipta untuk diangkat penyakit Suaminya. Karena Mbah Sani percaya bahwa taka da yang tak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.
TIAP MALAM JUALAN KERUPUK, MBAH SUMINGSRI BERJUANG BERTAHAN HIDUP
Dimalam yang dingin itu, sambil menahan kantuk Mbah Sumingsri (78) sabar menunggu pembeli dagangan kerupuk yang dibawanya.
“Kerupuk.. Kerupuk… Kerupuknya nak..”
Mbah Sumingsri lebih sering berjualan di Angkringan dan berpindah – pindah tempat, karena si-mbah memang tidak punya tempat berjualan dan tak jarang beliau diusir oleh pemilik Angkringan karena menempati tempat pelanggan Angkringan.
“saya disini niatnya hanya berjualan, tidak untuk minta – minta nak”
Tak ayal tubuh rentanya semakin membungkuk yang tiap hari selalu menggendong kerupuk dan harus berjalan kaki sampai rumah.
Sambil memijit kakinya perlahan, Mbah bercerita jika sering kali merasakan sakit Nyeri di kakinya akibat menggendong beban yang terlalu berat.
Tetapi mbah bertekad tak ingin dikalahkan oleh keadaan dan harus tetap berusaha.
“Saya harus tetap berusaha dan hati hati jika berjualan, semua ini saya lakukan agar tetap bisa makan.”
Satu bungkus kerupuk Mbah Sumingsri jual dengan harga Rp 10.000. Mbah Sumingsri hanya mengambil keuntungan 1000 perak saja dari setiap bungkus kerupuk yang ia jual.
Suka duka dalam berdagang kerupuk sudah ia lewati dengan sabar dan ikhlas. Tak jarang Mbah Sumingsri berjualan dari sore sampai larut malam namun tidak ada satupun kerupuk yang terjual.
“Saya berusaha agar tetap sabar dan ikhlas, nak. Memang terkadang saya pulang jualan tidak membawa uang sepeser pun, namun saya tahu Rezeki itu milik Allah dan Rezeki dapat datang dari mana saja, nak. Saya akan melewati semua ini dengan sabar dan ikhlas. Saya yakin Allah pasti memberikan yang terbaik buat saya baik di dunia maupun diakhirat.” Ucap Mbah Sumingsri dengan sabar.
Menangis sambil meratapi nasib tak akan seketika membuat hidupnya berubah. Tubuh rentanya seringkali meronta-ronta ketika berjalan terlalu jauh dan harus menahan dinginnya malam hari. Terkadang jika Mbah Sumingsri tak kuat dengan sakit punggung dan kakinya, ia terpaksa tidak bisa melanjutkan jualan dan memilih untuk beristirahat sejenak dirumah.
“Tapi, saya tetap ingin berusaha sendiri dan tidak mau meminta-minta, nak. Untung sedikit tidak masalah asal saya bisa makan. Asalkan ada nasi saja sudah syukur Alhamdulillah.”
Belum ada Fundraiser